Jurnalis di Tuban Diajak Kembangkan Jurnalisme Ramah Anak

Reporter : Sri Wiyono

blokTuban.com – Jurnalis di Kabupaten Tuban diajak untuk mengembangkan jurnalisme ramah anak. Sebab, sala satu tugas jurnalis atau wartawan yang utama adalah melakukan liputan, mengolah dan memberitakannya.

Dalam menulis berita, ada kaidah-kaidah jurnalistik yang harus dipenuhi dan melaksanakan kode etik jurnalistik secara benar dan bertanggungjawab.

Termasuk pada liputan atau pemberitaan terkait isu anak. Selain melakukan liputan dengan mengembangkan jurnalisme ramah anak, sehingga berita yang dipublikasikan adalah berita-berita yang ramah anak, jurnalis juga diajak untuk terus peduli dan mengawal hak-hak anak dan memastikan hak anak dipenuhi.

‘’Teman-teman media bisa ikut memberikan masukan, atau rekomendasi-rekomendasi pada pihak berwenang terkait pemenuhan hak anak. Jadi, tidak hanya pada jurnalisme yang ramah anak, tapi ada kepedulian lebih dalam pada isu-isu anak,’’ ujar Aan Haryono Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur, Selasa (16/9/2025).

Hal itu disampaikan Aan, saat mengisi materi pada kegiatan Advokasi Jurnalisme Ramah Anak dalam Mendukung Terwujudnya Kabupaten Layak Anak (KLA). Acara yang digelar di ruang rapat lantai tiga Mal Pelayanan Publik (MPP) Kabupaten Tuban itu diinsiasi oleh Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos P3A) Kabupaten Tuban itu diikuti para jurnalis di Kabupaten Tuban.

Menurut Aan, derasnya arus informasi dengan hadirnya media sosial (medsos) yang tanpa diimbangi dengan regulasi, menjadikan setiap peristiwa tersebar dengan sangat cepat. Termasuk kasus-kasus yang menyangkut anak, yang mestinya dilindungi. Keberadaan media sosial bisa menghancurkan masa depan anak dalam waktu cepat, akibat cepat viralnya berita, foto atau video terkait kasus anak.

Aan memberi contoh kejadian yang menimpa salah seorang anak perempuan dari sebuah kabupaten di Jawa Timur belum lama ini. Anak perempuan yang mengalami kekerasan secara seksual itu menjadi hancur masa depannya kurang dari satu jam sejak peristiwa terjadi, setelah foto dan video kejadian itu viral di media sosial.

‘’Ironisnya, media mainstream ikut-ikutan memberitakan. Maka dalam waktu satu jam masa depan anak itu hancur. Ditolak pertemannya, dikucilkan lingkungannya dan sebagainya. Maka ini harus menjadi perhatian serius,’’ urainya.

Kasus lain, lanjut Aan, masih terkait dengan hak anak. Ini terkait soal hak anak menerima imunisasi. Pada suatu ketika ada berita yang memuat kasus seorang anak yang sakit kemudian meninggal usai diimunisasi. Tanpa dirunut atau dipastikan dulu, apakah meninggalnya anak tersebut akibat imunisasi atau sebab lain.

‘’Akibatnya apa? Banyak orangtua yang kemudian tidak melakukan imunisasi pada anaknya akibat terpengaruh berita itu. Sehingga hak anak terabaikan, dan ke depan bisa membahayakan anak, karena anak tidak terlindungi tubuhnya atas suatu penyakit karena tak mendapatkan imunisasi,’’ ungkapnya.

Dua kasus itu, menurut Aan, menunjukkan betapa besarnya pengaruh media, termasuk media sosial dalam memengaruhi pola pikir dan tindakan masyarakat. Karena itu, produk jurnalistik yang ramah anak sangat mendukung pemenuhan hak anak dan melindungi anak.

‘’Juga bisa menjaga nafas demokrasi yakni mendukung pemenuhan hak anak, karena pers adalah pilar demokrasi keempat. Maka harus dikembangkan produk jurnalistik ramah anak,’’ katanya.

Sementara membacakan sambutan Kepala Dinsos P3A yang berhalangan hadir, Tutik Musyarofah mengatakan, anak merupakan bagian penting dari masyatakat yang harus dilindungi, dihormati dan haknya diberikan.

Dia menjelaskan, data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 jumlah anak di Indonesia 79,48 juta jiwa, atau  sepertiga total penduduk Indonesia. Ini menjadi modal besar, tapi sekalius juga rentan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), termasuk informasi dan media.

‘’Sistem dekokrasi kita menjadikan media masa sebagai pilar keempat. Fungsinya sangat vital selain memberi informasi dan kritik juga membantuk opini publik. Tak jarang berita tidak ramah anak disiarkan. Misalnya mengungkap identitas korban atau menayangkan yang menimbulkan trauma,’’ ujarnya.

Karena itu, dia mengajak media untuk menghormati dan melindungi hak anak dengan praktik jurnalisme ramah anak. Dalam UU Perlindungan Anak, UU No. 35 Tahun 2014 yang merupakan perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 mengatur hal tersebut.

Begitu juga dalam UU nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, bahwa pers juga wajib menghormati hak privasi pihak yang rentan termasuk anak. Juga ada kode etik jurnalistik (KEJ) yang harus dipegang teguh.

‘’Terkait dengan KLA salah satu indikator Kota Ramah Anak adalah indikatornya pemberitaan-pemberitaan yang ramah anak. Kegiatan ini untuk mendukung KLA, denga memberi pemahaman dan menyusun kesepakatan serta pedoman pemberitaan ramah anak,’’ katanya.[ono]