
Penulis: Edy Purnomo
Era sekarang, kita tidak perlu keluar rumah untuk mendapat informasi. Bahkan, kita tidak perlu mencarinya. Informasi datang sendiri: lewat layar ponsel, notifikasi, atau sekadar jempol yang tanpa sadar terus menggulir layar. Tapi, seberapa sering kita bertanya: “Apakah yang saya dapat ini benar?”
Media sosial telah mengubah cara kita berinteraksi dengan informasi. Saya menyebutnya dengan karakter yang cepat, spontan, dan personal. Kita membaca berita dari status teman, melihat opini dari unggahan tokoh publik, atau menyerap kabar viral dari video pendek yang emosional. Tapi justru karena kecepatan dan kedekatannya, batas antara informasi dan manipulasi semakin sumir.
Literasi Informasi: Bukan Sekadar Bisa Baca, Tapi Bisa Menyaring
Literasi informasi bukan sekadar kemampuan membaca. Tapi, keterampilan untuk membaca dengan sadar, memilah dengan kritis, dan menyebarkan dengan tanggung jawab. Dalam konteks media sosial, literasi informasi menjadi pagar terakhir yang memisahkan kita dari jebakan misinformasi, hoaks, hingga ujaran kebencian yang dibungkus narasi menyentuh.
Kita sering merasa cukup hanya dengan membaca dan membagikan. Tapi kita jarang bertanya: Siapa sumber informasi ini? Apa motif di balik narasinya? Bagaimana datanya? Dan apa dampak yang terjadi jika saya ikut andil dalam menyebarkan?
Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin terdengar rumit. Tapi dalam era banjir informasi, berpikir kritis bukan lagi kelebihan, tapi kebutuhan.
Kemudian, mengapa kita mudah tertipu?
Salah satu jebakan media sosial adalah emosi. Algoritma didesain untuk membuat kita bereaksi, bukan berpikir. Konten yang membuat kita marah, takut, atau tersentuh cenderung lebih cepat menyebar. Kita terpicu untuk membagikan, bukan karena kebenarannya, tapi karena preferensi dan minat.
Inilah mengapa literasi informasi sangat penting: mengingatkan kita untuk berhenti sejenak, bernapas, dan memverifikasi, sebelum jempol kita ikut memperpanjang rantai misinformasi.
Jurnalisme di Persimpangan: Tantangan untuk Tetap Kredibel
Di tengah gempuran informasi dari segala arah, wartawan dan pembuat berita menghadapi tantangan ganda: menjaga kredibilitas, sekaligus tetap relevan di tengah percepatan digital. Ketika berita palsu bisa viral dalam hitungan menit, media yang kredibel harus bersaing bukan hanya dengan sesama media, tapi juga dengan buzzer, akun anonim, bahkan bot.
Ini bukan saatnya untuk diam. Pers dituntut lebih adaptif, tanpa kehilangan jati dirinya sebagai penyampai kebenaran. Jurnalis harus mulai berpikir: bagaimana menyampaikan berita faktual dengan gaya yang menarik, cepat, dan tetap dapat dipercaya?
Di tengah derasnya arus informasi dan algoritma yang terus berubah, jurnalis dituntut untuk lebih dari sekadar menjadi penyampai kabar. Mereka perlu menjadi penjaga kualitas informasi, dan untuk itu, dibutuhkan keberanian untuk beradaptasi tanpa kehilangan prinsip dasar jurnalistik.
Menjadi jurnalis hari ini bukan hanya tentang menulis dan menerbitkan, tapi juga tentang mengemas informasi dalam bentuk yang relevan dengan zaman: video pendek, visual naratif, hingga podcast yang mudah dicerna oleh publik digital. Namun di tengah semua penyesuaian itu, akurasi dan integritas tetap harus menjadi fondasi utama.
Di era ketika kabar bohong bisa lebih cepat menyebar daripada klarifikasi, jurnalis perlu punya keberanian untuk tidak tergoda mengikuti arus viral. Perlu untuk tetap berpegang pada proses verifikasi, pada etika jurnalistik, dan pada tanggung jawab moral untuk menyampaikan yang benar bahkan ketika itu tidak populer.
Lebih dari itu, jurnalis hari ini perlu mengedukasi, bukan sekadar menginformasikan. Menyampaikan berita bukan hanya soal menyampaikan apa yang terjadi, tetapi juga mengapa itu penting, siapa yang terdampak, dan apa konteks yang melingkupinya. Dengan begitu, publik bukan hanya mendapat informasi, tapi juga pemahaman yang menjadi dasar dari literasi informasi yang sehat.
Menggandeng berbagai jenis komunitas digital bisa menjadi langkah strategis. Bukan untuk mengejar popularitas, tapi untuk memperluas jangkauan informasi yang kredibel dan menyampaikannya dalam bahasa yang dekat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.
Media sosial bukan lagi sekadar papan pengumuman satu arah seperti media konvensional. Namun telah menjadi ruang publik yang dinamis, tempat percakapan terjadi, opini dibentuk, dan kepercayaan diuji. Jurnalis harus hadir di sana bukan hanya untuk menyebarkan, tapi juga untuk mendengar, menjawab, dan membangun relasi yang bermakna dengan audiens.
Jurnalisme bukan lagi soal siapa yang paling cepat, tapi siapa yang paling dipercaya. Dan kepercayaan itu tidak lahir dari sensasi, tapi dari komitmen terhadap kebenaran, berulang kali, bahkan ketika tak ada sorotan.
Menjadikan Literasi Informasi Sebagai Tanggung Jawab Bersama
Ketika kita menyebarkan informasi, kita sedang membentuk opini, mempengaruhi keputusan, bahkan mengubah persepsi orang lain. Dalam skala kecil, mungkin hanya mengganggu. Tapi dalam skala besar, bisa memicu kepanikan, membakar kebencian, atau menghancurkan reputasi.
Literasi informasi bukan sekadar kemampuan individu. Merupakan bagian dari tanggung jawab sosial kita sebagai pengguna media. Dengan menjadi pengguna yang teliti, kita turut menjaga ruang digital agar tetap sehat dan beradab.
Salah satu pemantik unjuk rasa yang berujung pada kerusuhan adalah berbagai hal. Selain akibat ketidakpuasan masyarakat, kurang pekanya sejumlah pejabat publik, juga akibat informasi tidak terbendung yang diterima masyarakat.
Sebagai stakeholder, sudah waktunya untuk menggalakkan literasi informasi sebagai salah satu agenda yang perlu diperhatikan. Dimulai dari level anak sekolah dasar sampai warga lanjut usia. Ajak mereka untuk cek sumber berita, skeptisisme yang sehat, melakukan koreksi, dan langkah-langkah edukasi digital yang lain.
Bijak di Dunia yang Bising
Kita hidup di dunia yang semakin bising. Di mana setiap orang bisa menjadi pembuat berita, dan setiap berita bisa menjadi senjata. Tapi justru di dunia seperti ini, kebijaksanaan menjadi hal yang langka dan berharga.
Literasi informasi adalah salah satu bentuk kebijaksanaan digital. Bukan hanya membuat kita cerdas, tapi juga menjadikan kita manusia yang lebih bertanggung jawab.
Para jurnalis, suara Anda masih penting. Mungkin tak secepat buzzer, tak sesering trending topic, tapi suara yang jujur dan kredibel akan selalu menemukan tempat di hati publik yang lelah dibohongi.
Mari menjadi penjaga kualitas informasi. Karena masa depan ruang publik kita ditentukan oleh apa yang kita pilih untuk percaya, dan apa yang kita pilih untuk sebarkan.
*) Edy Purnomo - bekerja di blokTuban.com sekaligus aktif berkegiatan di Lembaga Riset dan Edukasi - satu STRIP INstitute