Relokasi Alun-Alun Tuban, PKL Tak Seharusnya Jadi Korban

Penulis: Mochamad Nur Rofiq

blokTuban.com – Relokasi pedagang kaki lima (PKL) dari kawasan Alun-Alun Tuban yang dijalankan sejak akhir 2024 terus jadi sorotan. Sebuah kebijakan tidak seharusnya membuat rakyat kecil justru menjadi korban.

Ahli ekonomi perkotaan Didik J. Rachbini melalui kajian yang pernah ia tulis dalam buku Ekonomi Informal Perkotaan (LP3ES, 2001) menegaskan pentingnya peran sektor informal sebagai penyangga ekonomi rakyat. 

Buku Ekonomi Informal Perkotaan : Gejala Involusi Gelombang Kedua oleh Didik J. Rachbini & Abdul Hamid (LP3ES, 1994) — landasan teoritik tentang ekonomi informal/PKL di perkotaan

Sementara itu, peneliti tata kota John Taylor dari Yayasan Kota Kita dalam risetnya mengenai penataan ruang kota di Solo dan Makassar (2015) menunjukkan relokasi PKL sering gagal karena tidak memperhitungkan pola pasar.

Profil organisasi Yayasan Kota Kita dan keterlibatan John Taylor dalam isu perencanaan kota & partisipasi warga (sebagai co-founder)

Kajian akademik lain juga memperkuat temuan ini. Penelitian oleh Universitas Negeri Yogyakarta (2019) serta Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (2021) menemukan rata-rata omzet PKL turun drastis, antara 50–70 persen, pasca relokasi.

Versi digital / tampilan buku Ekonomi Informal Perkotaan di Google Books (untuk melihat metadata & ringkasan)

Kondisi serupa juga terekam dalam berbagai jurnal perencanaan kota yang membahas kebijakan penertiban PKL di Indonesia.

Kondisi yang sama kini terjadi di Tuban. Rata-rata omzet PKL pasca relokasi dari Alun-Alun turun lebih dari 60 persen. Banyak pedagang akhirnya meninggalkan lapak dan mencari pekerjaan lain.

“Kebijakan relokasi seharusnya tidak hanya menata ruang kota, tetapi juga memperhatikan keberlangsungan hidup rakyat kecil. Faktanya, para PKL justru semakin terpinggirkan dan kehilangan mata pencaharian,” kata Ahmad Wafa Amrillah, Ketua Cabang PMII Tuban, Jumat (26/9/2025).

Wafa menilai Pemkab Tuban gagal menepati janji. Evaluasi yang dijanjikan tak pernah ada, sementara upaya penertiban terus dilakukan. 

“PKL itu bagian dari denyut ekonomi rakyat. Mengabaikan mereka sama saja dengan mematikan roda ekonomi kerakyatan di Tuban,” ujarnya.

Relokasi PKL Tuban berbasis pada Perda Nomor 11 Tahun 2018 tentang Penataan PKL, namun dinilai bertentangan dengan amanat UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) dan Perpres 125 Tahun 2012 yang justru mewajibkan pemerintah menyediakan lokasi usaha yang layak.

Data Diskopumdag Tuban 2023 mencatat lebih dari 220 ribu UMKM berkontribusi terhadap ekonomi daerah, dengan PKL sebagai bagian vital.

Jalan Tengah: Kota Tertata, PKL Tetap Sejahtera

Meski polemik ini berlangsung panjang, sejumlah pakar menilai solusi win-win tetap terbuka. Pemerintah daerah sebenarnya bisa menata wajah kota tanpa harus mengorbankan PKL.

Dengan pola kolaboratif, Pemkab dapat merancang kebijakan yang mempertemukan kebutuhan ruang publik yang rapi dengan keberlangsungan ekonomi rakyat kecil.

Para pakar menyarankan solusi win-win agar PKL tidak lagi jadi korban kebijakan:

  1. Zonasi Fleksibel: PKL ditata di sekitar Alun-Alun dengan jam operasional tertentu.
  2. Event-Based Access: Memberi ruang dagang resmi saat acara besar, festival, dan car free day.
  3. Revitalisasi Lokasi Baru: Perlu promosi, akses transportasi, dan fasilitas agar pelanggan ikut pindah.
  4. Kebijakan Pendukung: Bantuan modal mikro, promosi digital, dan kemudahan perizinan.

Dengan sudut pandang ini, pakar dan aktivis menegaskan bahwa PKL tidak boleh lagi jadi korban kebijakan penataan kota, melainkan harus dipandang sebagai subjek pembangunan ekonomi daerah.[rof]